BANDAR TEATER JAKARTA, didirikan oleh sejumlah peserta workshop teater dan sastra yang diselenggarakan Gelanggang Remaja Jakarta Utara pada 5 Juni 1980. Awalnya dipimpin dan disutradarai oleh Ismail Sofyan Sani. Sempat berjalan beberapa tahun, kemudian terjadi perpecahan internal. Pada 1986, Malhamang Zamzam ditunjuk untuk menjadi sutradara dan meneruskan kegiatan.
Sebagaimana kelompok teater remaja di Jakarta waktu itu, Bandar Teater Jakarta juga ikut Festival Teater Jakarta. Tiga tahun berturut-turut, 1989, 1990 dan 1991, menjuarai festival, dan dinyatakan lulus sebagai senior oleh Dewan Kesenian Jakarta. Dan, berhak tampil di Taman Ismail Marzuki setiap tahun.
Pada awal kegiatannya, sebagai peserta festival, kelompok ini menggarap naskah-naskah yang ditentukan panitia. Tapi, pada 2001, mereka mulai melakukan eksperimen dengan menggelar The Opening. Balok Es, Pipa Besi, Boneka Sex & Panggung Miring. Suatu karya dengan proses yang berbeda dari biasanya. Apa yang ingin disampaikan adalah pengalaman tak terduga. Ketak-terdugaan itu pula yang kemudian menjadi konsep pertunjukan. Penonton diajak untuk terbawa ke dalam sensasi kemungkinan, tanpa bisa menduga ke arah mana pertunjukan akan menuju.
“Aku harus meyakini, apa yang kami ungkap bisa dirasakan penonton. Kami cuma ingin mengatakan inilah aku, inilah hidupku, dan inilah sentuhanku terhadap hal-hal di luar diriku. Jika penonton dapat menemukan situasi tertentu sebagaimana yang dia pernah rasakan, maka pertunjukan itu berhasil. Seperti deja vu begitu,” katanya.
Bentuk pertunjukan Bandar Teater Jakarta selalu non-realis. Hal itu barangkali yang membikin banyak pihak menggolongkannya sebagai teater kontemporer. Meski demikian, Malhamang menjelaskan, gagasan dasar pertunjukan selalu bertolak dari hal yang riil. Tapi pendekatan bentuk dan artistiknya memang tidak realis.
Bandar Teater Jakarta selalu melakukan studi terhadap pertunjukan yang lalu, untuk menjadi dasar bagi pertunjukan berikutnya. Maka, pertemuan bagi sesama anggota menjadi hal yang sangat penting. Tapi ketika terbentur pada pengembangan Jakarta, kebiasaan berkumpul pun jadi masalah. “Dulu kami semua tinggal di Tanjung Priok. Karena terjadi pembongkaran dan penataan kota, sekarang kami tinggal berjauhan. Ada yang di Bekasi, Tangerang, Bogor, Depok...”
Pada 2005, Bandar Teater Jakarta meraih hibah dari Yayasan Kelola, untuk berpentas di Makassar, Solo dan Bandung. Lakonnya, Arthefuck (pada kapak, genangan, belukaran). Di setiap kota, mereka meminta seniman setempat terlibat dalam pertunjukan, tanpa melihat latihan. Ternyata bisa masuk, bahkan mempertajam pertunjukan. “Artinya, konsepku tentang ruang pertunjukan yang bisa dimasuki siapa pun, terjawab. Siapa pun, dalam pengertian dia juga punya kegelisahan,” tuturnya.
“Di Solo, Agung dari komunitas Slamet Gundono, mendadak menyirami tanah yang sebenarnya telah ditumbuhi bibit-bibit oleh Agus Smok. Tetapi dengan air panas, yang uapnya bisa dilihat. Di Bandung, Tony Broer bertanya, harus masuk dari mana? Aku jawab, terserah. Kamu gak perlu lihat latihan karena ‘gak ada latihan terakhir. Pentas langsung malam ini. Kalau mau masuk, masuk saja. Tiba-tiba dia masuk pada moment petasan, dan dia main di bawah petasan. Dengan gerak tubuh yang aku juga gak bisa lihat karena sedang main, tapi setelah itu aku lihat dia sangat menikmati dan ternyata dia memang ingin kena api petasan. Mungkin karena kecepatan gerakanku, katanya,” tutur Malhamang.
Kelompok ini punya kebiasaan mengundang seniman untuk menyaksikan proses, ketika tahap latihan sudah mencapai 75%. Dan membuka berdialog. Hal itu dimaksudkan untuk memperkaya latihan. Seorang tokoh yang kerap diundang adalah Roedjito (almarhum), seniman yang pikirannya banyak mempengaruhi Bandar Teater Jakarta.
Sebagaimana kelompok teater remaja di Jakarta waktu itu, Bandar Teater Jakarta juga ikut Festival Teater Jakarta. Tiga tahun berturut-turut, 1989, 1990 dan 1991, menjuarai festival, dan dinyatakan lulus sebagai senior oleh Dewan Kesenian Jakarta. Dan, berhak tampil di Taman Ismail Marzuki setiap tahun.
Pada awal kegiatannya, sebagai peserta festival, kelompok ini menggarap naskah-naskah yang ditentukan panitia. Tapi, pada 2001, mereka mulai melakukan eksperimen dengan menggelar The Opening. Balok Es, Pipa Besi, Boneka Sex & Panggung Miring. Suatu karya dengan proses yang berbeda dari biasanya. Apa yang ingin disampaikan adalah pengalaman tak terduga. Ketak-terdugaan itu pula yang kemudian menjadi konsep pertunjukan. Penonton diajak untuk terbawa ke dalam sensasi kemungkinan, tanpa bisa menduga ke arah mana pertunjukan akan menuju.
“Aku harus meyakini, apa yang kami ungkap bisa dirasakan penonton. Kami cuma ingin mengatakan inilah aku, inilah hidupku, dan inilah sentuhanku terhadap hal-hal di luar diriku. Jika penonton dapat menemukan situasi tertentu sebagaimana yang dia pernah rasakan, maka pertunjukan itu berhasil. Seperti deja vu begitu,” katanya.
Bentuk pertunjukan Bandar Teater Jakarta selalu non-realis. Hal itu barangkali yang membikin banyak pihak menggolongkannya sebagai teater kontemporer. Meski demikian, Malhamang menjelaskan, gagasan dasar pertunjukan selalu bertolak dari hal yang riil. Tapi pendekatan bentuk dan artistiknya memang tidak realis.
Bandar Teater Jakarta selalu melakukan studi terhadap pertunjukan yang lalu, untuk menjadi dasar bagi pertunjukan berikutnya. Maka, pertemuan bagi sesama anggota menjadi hal yang sangat penting. Tapi ketika terbentur pada pengembangan Jakarta, kebiasaan berkumpul pun jadi masalah. “Dulu kami semua tinggal di Tanjung Priok. Karena terjadi pembongkaran dan penataan kota, sekarang kami tinggal berjauhan. Ada yang di Bekasi, Tangerang, Bogor, Depok...”
Pada 2005, Bandar Teater Jakarta meraih hibah dari Yayasan Kelola, untuk berpentas di Makassar, Solo dan Bandung. Lakonnya, Arthefuck (pada kapak, genangan, belukaran). Di setiap kota, mereka meminta seniman setempat terlibat dalam pertunjukan, tanpa melihat latihan. Ternyata bisa masuk, bahkan mempertajam pertunjukan. “Artinya, konsepku tentang ruang pertunjukan yang bisa dimasuki siapa pun, terjawab. Siapa pun, dalam pengertian dia juga punya kegelisahan,” tuturnya.
“Di Solo, Agung dari komunitas Slamet Gundono, mendadak menyirami tanah yang sebenarnya telah ditumbuhi bibit-bibit oleh Agus Smok. Tetapi dengan air panas, yang uapnya bisa dilihat. Di Bandung, Tony Broer bertanya, harus masuk dari mana? Aku jawab, terserah. Kamu gak perlu lihat latihan karena ‘gak ada latihan terakhir. Pentas langsung malam ini. Kalau mau masuk, masuk saja. Tiba-tiba dia masuk pada moment petasan, dan dia main di bawah petasan. Dengan gerak tubuh yang aku juga gak bisa lihat karena sedang main, tapi setelah itu aku lihat dia sangat menikmati dan ternyata dia memang ingin kena api petasan. Mungkin karena kecepatan gerakanku, katanya,” tutur Malhamang.
Kelompok ini punya kebiasaan mengundang seniman untuk menyaksikan proses, ketika tahap latihan sudah mencapai 75%. Dan membuka berdialog. Hal itu dimaksudkan untuk memperkaya latihan. Seorang tokoh yang kerap diundang adalah Roedjito (almarhum), seniman yang pikirannya banyak mempengaruhi Bandar Teater Jakarta.
Ags. Arya Dipayana - Penulis
Nano Riantiarno - Editor
Nano Riantiarno - Editor
Karya
Arthefuck (pada kapak, genangan, belukaran) (2004)
Batu Ulekan Di Atas Bedak (1997)
The Opening. Balok Es, Pipa Besi, Boneka Sex & Panggung Miring (1995)
Batu Ulekan Di Atas Bedak (1997)
The Opening. Balok Es, Pipa Besi, Boneka Sex & Panggung Miring (1995)
Kontak
Bandar Teater Jakarta
Puri Gading, Vila Besakih Blok H 12 no.5, Pondok Gede, Bekasi. Jakarta
Phone | : | +62818-672507 |
: | malh_z@yahoo.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar